Penurunan tingkat pembaca selama beberapa tahun terakhir memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap keberlangsungan media cetak. Salah satu dampaknya adalah terjadinya pengurangan belanja iklan yang menyebabkan beberapa media cetak harus berhenti beroperasi atau beralih ke format digital. Tren tersebut sejatinya sudah dibayangkan oleh para praktisi media. Asosiasi surat kabar dan percetakan dunia (World Association of Newspaper and News Publisher/WAN-IFRA) pada tahun 2012 pernah menyebut bahwa sebanyak 1% perubahan yang terjadi di sirkulasi media cetak dapat menyebabkan 3% perubahan pendapatan iklan.
Nielsen indonesia mencatat jumlah media cetak mengalami penurunan khususnya majalah dari 162 judul pada tahun 2012 menjadi 96 judul pada tahun 2017. Sedangkan surat kabar turun tiga judul dalam periode yang sama yaitu dari 102 menjadi 99 judul. Survei bertajuk Nielsen consemer & media view (CMV) Q3 2017 itu juga melansir bahwa saat ini media cetak (termasuk koran, majalah, tabloid) memiliki penetrasi sebesar 8% dan dibaca oleh 4,5 juta orang. Dari jumlah tersebut 83% nya membaca koran. Alasan para pembaca masih memilih surat kabar adalah nilai berita yang dapat dipercaya.
Hellen katherina, direktur eksekutif Nielsen media menuturkan elemen trust terhadap konten berpengaruh terhadap iklan yang ada di dalamnya. “Sehingga keberadaan koran sebagai media beriklan sangat penting untuk produk yang mengutamakan unsur trust, seperti produk perbankan dan asuransi,” ujarnya saat menjelaskan survei yang dilakukan di sebelas kota dengan mewawancarai 17.000 responden ini. Sementara itu sambung Hellen, tabloid atau majalah lebih menekankan pada kisah atau tajuk utama yang diangkat. Tutupnya sejumlah majalah mengindikasikan bahwa media cetak mulai ditinggali oleh para pembacanya, dan tentu saja oleh para pengiklan. Lebih spesifik lagi, media-media yang mengulas gaya hidup merupakan yang cukup banyak tumbang. Hal ini dikarenakan berita terkait gaya hidup saat ini jauh lebih mudah dan cepat diperoleh dari media-media online.
Apabila dilihat dari profil pembaca, media cetak di indonesia cenderung dikonsumsi oleh konsumen dari rentang usia 20 – 49 tahun (74%) memiliki pekerjaan sebagai karyawan (32%) dan mayoritas pembacanya berasal dari kelas atas (54%). Ini menunjukan bahwa pembaca media cetak masih produktif dan dari kalangan mapan. Pembaca media cetak juga merupakan pembuat keputusan dalam rumah tangga untuk membeli sebuah produk (36%). Membaca buku adalah salah satu hobi dari konsumen media cetak. Selain membaca, mereka juga lebih cenderung menyukai traveling. Tiga dari empat pembaca media cetak mengakui tidak keberatan saat melihat iklan karena iklan adalah salah satu cara untuk mengetahui produk terbaru.
Pembaca media cetak di satu sisi juga merupakan pembaca media online. Bahkan, penetrasinya jauh lebih tinggi ketimbang membaca media cetak. Berdasarkan survei yang sama, frekuensi penggunaan internet di antara pembaca media cetak mencapai 86%, alias di atas rata-rata 61%. Menurut Hellen, sampai dengan Q3 2017, jumlah pembaca versi digital telah mencapai enam juta orang dengan penetrasi sebesar 11%. “Ini membuktikan bahwa minat membaca tidak turun, tapi hanya berganti platform saja,” Hal ini dapat diamati dari tingginya penetrasi kepembacaan digital di beberapa kota di Pulau Jawa seperti, area Bandung dan sekitarnya (25%), Surakarta (22%), Yogyakarta dan sekitarnya (19%), Semarang dan sekitarnya (12%) serta Jakarta dan sekitarnya (11%).
Sementara itu, di luar Pulau Jawa, kebanyakan pembaca masih lebih banyak membaca dalam bentuk cetak. Artinya, masih ada peluang bagi perusahaan media cetak untuk meningkatkan penetrasi di daerah luar Pulau Jawa. Dilihat dari sisi belanja iklan, meskipun jumlah pendapatan belanja iklan turun 11% dari tahun 2013 ke tahun 2017, namun total pendapatan iklan surat kabar masih sebesar Rp 21 triliun. Pendapatan iklan majalah turun lebih anjlok lagi, yakni bisa mencapai lebih dari 29%.
Kesejahteraan jurnalis
Kepemirsaan yang menurun lantaran disrupsi media online memang menjadi akar dari tutupnya sejumlah media cetak indonesia. Namun itu bukan satu satunya masalah yang dihadapi media cetak. Kesejahteraan jurnalis juga menjadi indikator. Pasalnya, yang membedakan media cetak dengan media online adalah kebenaran dan kedalaman berita yang disajikan. Sementara, banyak dari media online hanya mengutamakan kecepatan berita saja. Sayangnya, sebagian besar upah jurnalis di negeri ini masih jauh dari kata layak.
Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) menekankan pentingnya kesejahteraan bagi jurnalis dalam upaya meningkatkan kualitas pemberitaan. Sebab, ketika kesejahteraan jurnalis terpenuhi, dapat menciptakan produk jurnalistik yang berguna bagi publik. Sampai saat ini, AJI masih menemukan sejumlah media di jakarta yang mengupah jurnalisnya di bawah upah minimum provinsi. Salah satu temuannya masih adanya jurnalis yang diupah Rp. 3,4 juta walau telah mengabdi selama sepuluh tahun. Rata rata media yang disurvei AJI mengupah jurnalisnya Rp. 4 juta.
Jika Jakarta menjadi acuan, menurut AJI, upah layak bagi jurnalis pemula pada tahun 2018 sebesar Rp 7.96 juta. Angka tersebut meningkat bila dibandingkan dengan upah layak pada tahun lalu yang sebesar Rp 7,54 juta. Angka itu timbul dari survei yang dilakukan AJI kepada jurnalis berdasarkan pada kebutuhan dasar mereka. Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim kepada sejumlah media mengatakan bahwa jurnalis merupakan profesi yang membutuhkan keahlian khusus dan rentan terkena masalah hukum. Sehingga sangat layak untuk diberikan upah take home pay di atas UMP. Jurnalis yang menerima upah secara layak bisa bekerja profesional dan tidak tergoda menerima ‘sogokan’ dari narasumber. “Upah yang layak memajukan industri media cetak dengan menghasilkan mutu yang lebih baik,” tuturnya.
Bagaimana dengan sustainability business media alternatif dan independen? Dalam buku “Media Power in Indonesia” yang ditulis oleh Ross Tapsell menjelaskan bahwa media-media baru akan sulit bertahan karena tidak memiliki model bisnis yang stabil, apalagi untuk bersaing dengan konglomerasi media milik Chairul Tanjung ce’es. Idhar Resmadi, seorang jurnalis lepas juga mengatakan hal yang serupa kepada saya. Menurut Idhar, agak naif rasanya untuk seseorang yang ingin kaya raya namun hanya berbisnis atau bekerja dalam media independen.
Selain dari sisi sustainablity business, merujuk pada teori new media dan buku “The Digital Age” beranggapan bahwa semua orang dapat menjadi suatu media. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya homeless media, dilanjut dengan munculnya istilah user generated content dan juga citizen journalism yang dapat menjadi ancaman untuk bisnis media. Hal ini diperkuat dengan salah satu wawancara Forbes dengan seorang profesor eksekutif media digital dan hiburan di Amerika, Melva Benoit. Ia mengatakan bahwa sosial media adalah contoh konkrit new media, dimana siapapun bisa menjadi media. Kejadian apapun yang dibagikan lewat media sosial oleh individual dapat menjadi berita, mulai dari keadaan lalu lintas hingga kasus kriminal sekalipun. Sekarang, masyarakat tidak harus menunggu surat kabar cetak setiap paginya untuk mendapat informasi. Dimanapun mereka berada, atau kegiatan apa yang sedang mereka lakukan asal memiliki smartphone dan akses internet, kita dapat dengan mudah mendapat atau membuat informasi. (Dari berbagai sumber)